Diposting oleh Tyagita cahya A | 1 komentar

APRESIASI KARYA SASTRA DAN MENGAPRESIASI CERPEN



Kelompok 8:
1.                  Renny Setyowati                   (292013018)
2.                  Karolina Ari Putri A                        (292013026)
3.                  Tyagita Cahya A                   (292013032)
4.                  Wahlita Januardi                  (292013035)



PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
2013/2014

PENDAHULUAN
A.                LATAR BELAKANG
Di era globalisasi saat ini banyak sekali karya sastra. Diantaranya cerpen , novel , puisi ,pantun, prosa ,drama dan lain-lain. Banyak karya sastra yang dapat diapresiasikan salah satunya mengapresiasikan karya sastra
Dewasa ini banyak mahasiswa yang tidak mengerti apa itu apresiasi bahkan juga tidak mengerti cara mengapresiasukan karya sastra .Penulisan makalah Apresiasi Karya Sastra Dan Mengapresiasi Cerpen ini dimaksud sebagai acuan bagi mahasiswa untuk mendalami tentang apresiasi sastra dan cara mengapresiasi cerpen.

B.                 TUJUAN
·        Memahami apa itu apresiasi
·        Memahami dan tau cara mengapresiasi sastra cerpen
·        Memahami kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung  dalam mengapresiasi sastra

C.                MANFAAT
·      Mahasiswa dapat memahami tentang apa itu apresiasi
·      Mahasiswa dapat mengerti cara mengapresiasi cerpen
·      Mahasiswa dapat memahami kegiatan langsung dan kegiatan tidak langsung  dalam mengapresiasi sastra











APRESIASI KARYA SASTRA DAN MENGAPRESIASI CERPEN
1.                 Pengertian Apresiasi Sastra
Istilah apresiasi berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti “mengindahkan” atau “menghargai”. Apresiasi sastra dapat diartikan sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu. Konteks yang lebih luas dalam istilah apresiasi menurut Gove mengandung makna (1) pengenalan melalui perasaan atau kepekaan batin dan (2) pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai keindahan yang diungkapkan pengarang. Pendapat lain, Squire dan Taba menyimpulkan bahwa apresiasi sebagai suatu proses yang melibatkan tiga unsur inti, yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek emotif, dan (3) aspek evaluatif.
a.                  Aspek kognitif
Aspek kognitif berkaitan dengan keterlibatan intelek pembaca dalam upaya memahami unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif. Unsur-unsur kesastraan yang bersifat objektif tersebut selain dapat berhubungan dengan unsur-unsur yang secara internal terkandung dalam suatu teks sastra atau unsur intrinsik, juga dapat berkaitan dengan unsur-unsur di luar teks sastra itu sendiri atau unsur ekstrinsik. Unsur intrinsik sastra yang bersifat objektif itu misalnya tulisan serta aspek bahasa dan struktur wacana dalam hubungannya dengan kehadiran makna yang tersurat. Sedangkan unsur ekstrinsik antara lain berupa biografi pengarang, latar proses kreatif penciptaan maupun latar sosial-budaya yang menunjang kehadiran teks sastra.
b.                  Aspek emotif
Aspek emotif berkaitan dengan keterlibatan unsur emosi pembicara dalam upaya menghayati unsur-unsur keindahan dalam teks sastra yang dibaca. Selain itu, unsur emosi juga sangat berperanan dalam upaya memahami unsur-unsur yang bersifat subjektif. Unsur subjektif itu dapat berupa bahasa paparan yang mengandung ketaksaan makna atau yang bersifat konotatif-interpretatif serta dapat pula berupa unsur-unsur signifikan tertentu, misalnya penampilan tokoh dan setting yang bersifat metaforis.
c.                   Aspek evaluatif
Aspek evaluatif berhubungan dengan kegiatan memberikan penilaian terhadap baik-buruk, indah tidak indah, sesuai tidak sesuai serta sejumlah ragam penilaian lain yang tidak harus hadir dalam sebuah karya kritik, tetapi secara personal cukup dimiliki oleh pembaca. Dengan kata lain, keterlibatan unsur penilaian dalam hal ini masih bersifat umum sehingga setiap apresiator yang telah mampu meresponsi teks sastra yang dibaca sampai pada tahapan pemahaman dan penghayatan, sekaligus juga mampu melaksanakan penilaian.
2.                 Kegiatan Langsung dan Kegiatan Tidak Langsung  dalam Mengapresiasi Sastra
Apresiasi sastra sebenarnya bukan merupakan konsep abstrak yang tidak pernah terwujud dalam tingkah laku, melainkan merupakan pengertian yang di dalamnya menyiratkan adanya suatu kegiatan yang harus terwujud secara konkret. Perilaku tersebut dalam hal ini dapat dibedakan antara perilaku kegiatan secara langsung dan kegiatan perilaku secara tidak langsung.
Ø    Apresiasi sastra secara langsung
Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung. Kegiatan membaca suatu teks sastra secara langsung dapat terwujud dalam perilaku membaca, memahami, menikmati, serta mengevaluasi teks sastra, baik yang berupa cerpen, novel, roman, naskah drama, maupun teks sastra berupa puisi.
Kegiatan langsung yang terwujud dalam kegiatan mengapresiasi sastra pada performansi, misalnya saat Anda melihat, mengenal, memahami, menikmati, ataupun memberikan penilaian pada kegiatan membaca puisi, cerpen, pementasan drama, baik di radio, televisi, maupun pementasan di panggung terbuka. Kedua bentuk kegiatan itu dalam hal ini perlu dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berulang kali, sehingga dapat melatih dan mengembangkan kepekaan pikiran dan perasaan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra, baik yang dipaparkan lewat media tulisan, lisan, maupun visual.
Ø    Apresiasi sastra secara tidak langsung
Kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra. Kegiatan itu disebut sebagai kegiatan apresiasi secara tidak langsung karena kegiatan tersebut nilai akhirnya bukan hanya mengembangkan pengetahuan seseorang tentang sastra, melainkan juga akan meningkatkan kemampuan dalam rangka mengapresiasi suatu cipta sastra.
Dengan demikian, kegiatan apresiasi sastra secara tidak langsung itu pada gilirannya akan ikut berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi sastra jika bahan bacaan tentang sastra yang telah ditelaahnya itu memiliki relevansi dengan kegiatan apresiasi sastra. Misalnya membaca masalah minat baca sastra murid, kemampuan apresiasi sastra masyarakat Indonesia atau mungkin artikel tentang pengajaran sastra di sekolah. Meskipun pembahasan itu sangat penting untuk mengembangkan kemampuan dan pengetahuan, pembahasan itu sedikit sekali peranannya atau bahkan tidak berperan dalam mengembangkan kemampuan apresiasi. Dalam hal demikian, pembaca tidak melaksanakan kegiatan apresiasi secara langsung maupun tidak langsung.

3.                 Bekal Awal Mengapresiasi Sastra
Menurut pendapat E.E. Kellet pada saat membaca karya sastra selalu berusaha menciptakan sikap serius, tetapi dengan suasana batin riang. Penumbuhan sikap serius dalam membaca cipta sastra itu terjadi karena sastra lahir dari daya kontemplasi batin pengarang sehingga untuk memahaminya juga membutuhkan pemilikan daya kontemplatif pembacanya. Sementara pada sisi lain, sastra merupakan bagian dari seni yang berusaha menampilkan nilai-nilai keindahan yang bersifat aktual dan imajinatif sehingga mampu memberikan hiburan dan kepuasan rohaniah pembacanya.
Sebab itu tidak berlebihan jika Boulton mengungkapkan bahwa cipta sastra, selain menyajikan nilai-nilai keindahan serta paparan peristiwa yang mampu memberikan kepuasan batin pembacanya, juga mengandung pandangan yang berhubungan dengan renungan atau kontemplasi batin, baik berhubungan dengan masalah keagamaan, filsafat, politik, maupun berbagai macamproblema yang berhubungan dengan kompleksitas hidup. Kandungan makna yang begitu kompleks serta berbagai macam nilai keindahan tersebut dalam hal ini akan mewujudkan atau tergambar lewat media kebahasaan, media tulisan, dan struktur wacana.
Sastra, dengan demikian sebagai salah satu cabang seni sebagai bacaan. Sastra tidak cukup dipahami lewat analisis kebahasaannya, melalui studi yang disebut text grammar atau text linguistics, tetapi juga harus melalui studi khusus yang berhubungan dengan literary text karena teks sastra bagaimanapun memiliki ciri-ciri khusus teks sastra itu salah satunya ditandai oleh adanya unsur-unsur intrinsik karya sastra yang berbeda dengan unsur-unsur yang membangun bahan bacaan lainnya.
Berdasarkan keseluruhan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa cipta sastra sebenarnya mengandung berbagai macam unsur yang sangat kompleks, antara lain:
1)   unsur keindahan,
2)   unsur kontemplatif yang berhubungan dengan nilai-nilai atau renungan tentang keagamaan, filsafat, politik, serta berbagai macam kompleksitas permasalahan kehidupan,
3)   media pemaparan, baik berupa media kebahasaan maupun struktur wacana,
4)   unsur-unsur intrinsik yang berhubungan dengan ciri karakteristik cipta sastra itu sendiri sebagai suatu teks.
Sejalan dengan kandungan keempat aspek di atas, mengimplikasikan bahwa untuk mengapresiasi cipta sastra, pembaca pada dasarnya dipersaayaratkan memiliki bekal-bekal tertentu. Bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator antara lain:
ü kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra,
ü pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan ini secara intensif-kontemplatif  maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi,
ü pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
ü pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.
Kemampuan untuk mengapresiasi cipta sastra seseorang harus secara terus menerus menggauli karya sastra. Pemilikan bekal pengetahuan dan pengalaman dapat diibaratkan sebagai pemilikan pisau bedah, sedangkan kegiatan menggauli cipta sastra itu sebagai kegiatan pengasahan sehingga pisau itu menjadi tajam dan semakin tajam, yakni jika pembaca itu semakin sering dan akrab dengan kegiatan membaca sastra.
Lebih lanjut, seperti telah disinggung di depan, kepekaan emosi dan perasaan itu bukan hanya berhubungan dengan kegiatan penghayatan dan pemahaman nilai-nilai keindahan, melainkan juga berhubungan dengan usaha pemahaman kandungan makna dalam cipta sastra yang umumya bersifat konotatif. Konotasi makna dalam cipta sastra itu terjadi karena kata-kata dalam cipta sastra itu terwujud dalam endapan pengalaman, daya emosional, maupun daya intelektual pengarangnya selain itu juga telah mengalami pemadatan. Sebab itulah dalam kegiatan apresiasi sastra, Brooks membedakan adanya dua level, yakni level objektif yang berhubungan dengan respons intelektual, dan level subjektif yang berhubungan dengan respons emosional.
4.                 Cerita pendek
Cerita pendek atau sering disingkat sebagai cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif. Cerita pendek cenderung padat dan langsung pada tujuannya dibandingkan karya-karya fiksi yang lebih panjang, seperti novella (dalam pengertian modern) dan novel. Karena singkatnya, cerita-cerita pendek yang sukses mengandalkan teknik-teknik sastra seperti tokoh, plot, tema, bahasa dan insight secara lebih luas dibandingkan dengan fiksi yang lebih panjang. Ceritanya bisa dalam berbagai jenis.
Cerita pendek berasal dari anekdot, sebuah situasi yang digambarkan singkat yang dengan cepat tiba pada tujuannya, dengan paralel pada tradisi penceritaan lisan. Dengan munculnya novel yang realistis, cerita pendek berkembang sebagai sebuah miniatur, dengan contoh-contoh dalam cerita-cerita karya E.T.A. Hoffmann dan Anton Chekhov.

ü  Asal-usul

Cerita pendek bermula pada tradisi penceritaan lisan yang menghasilkan kisah-kisah terkenal seperti Iliad dan Odyssey karya Homer. Kisah-kisah tersebut disampaikan dalam bentuk puisi yang berirama, dengan irama yang berfungsi sebagai alat untuk menolong orang untuk mengingat ceritanya. Bagian-bagian singkat dari kisah-kisah ini dipusatkan pada naratif-naratif individu yang dapat disampaikan pada satu kesempatan pendek. Keseluruhan kisahnya baru terlihat apabila keseluruhan bagian cerita tersebut telah disampaikan.
Fabel, yang umumnya berupa cerita rakyat dengan pesan-pesan moral di dalamnya, konon dianggap oleh sejarahwan Yunani Herodotus sebagai hasil temuan seorang budak Yunani yang bernama Aesop pada abad ke-6 SM (meskipun ada kisah-kisah lain yang berasal dari bangsa-bangsa lain yang dianggap berasal dari Aesop). Fabel-fabel kuno ini kini dikenal sebagai Fabel Aesop. Akan tetapi ada pula yang memberikan definisi lain terkait istilah Fabel. Fabel, dalam khazanah Sastra Indonesia seringkali, diartikan sebagai cerita tentang binatang sebagai pemeran(tokoh) utama. Cerita fabel yang populer misalnya Kisah Si Kancil, dan sebagainya.
Selanjutnya, jenis cerita berkembang meliputi sage, mite, dan legenda. Sage merupakan cerita kepahlawanan. Misalnya Joko Dolog. Mite atau mitos lebih mengarah pada cerita yang terkait dengan kepercayaan masyarakat setempat tentang sesuatu. Contohnya Nyi Roro Kidul. Sedangkan legenda mengandung pengertian sebagai sebuah cerita mengenai asal usul terjadinya suatu tempat. Contoh Banyuwangi.
Bentuk kuno lainnya dari cerita pendek, yakni anekdot, populer pada masa Kekaisaran Romawi. Anekdot berfungsi seperti perumpamaan, sebuah cerita realistis yang singkat, yang mencakup satu pesan atau tujuan. Banyak dari anekdot Romawi yang bertahan belakangan dikumpulkan dalam Gesta Romanorum pada abad ke-13 atau 14. Anekdot tetap populer di Eropa hingga abad ke-18, ketika surat-surat anekdot berisi fiksi karya Sir Roger de Coverley diterbitkan.
Di Eropa, tradisi bercerita lisan mulai berkembang menjadi cerita-cerita tertulis pada awal abad ke-14, terutama sekali dengan terbitnya karya Geoffrey Chaucer Canterbury Tales dan karya Giovanni Boccaccio Decameron. Kedua buku ini disusun dari cerita-cerita pendek yang terpisah (yang merentang dari anekdot lucu ke fiksi sastra yang dikarang dengan baik), yang ditempatkan di dalam cerita naratif yang lebih besar (sebuah cerita kerangka), meskipun perangkat cerita kerangka tidak diadopsi oleh semua penulis. Pada akhir abad ke-16, sebagian dari cerita-cerita pendek yang paling populer di Eropa adalah "novella" kelam yang tragis karya Matteo Bandello (khususnya dalam terjemahan Perancisnya). Pada masa Renaisan, istilah novella digunakan untuk merujuk pada cerita-cerita pendek.
Pada pertengahan abad ke-17 di Perancis terjadi perkembangan novel pendek yang diperhalus, "nouvelle", oleh pengarang-pengarang seperti Madame de Lafayette. Pada 1690-an, dongeng-dongeng tradisional mulai diterbitkan (salah satu dari kumpulan yang paling terkenal adalah karya Charles Perrault). Munculnya terjemahan modern pertama Seribu Satu Malam karya Antoine Galland (dari 1704; terjemahan lainnya muncul pada 1710–12) menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap cerita-cerita pendek Eropa karya Voltaire, Diderot dan lain-lainnya pada abad ke-18.

ü  Cerita-cerita pendek modern

Cerita-cerita pendek modern muncul sebagai genrenya sendiri pada awal abad ke-19. Contoh-contoh awal dari kumpulan cerita pendek termasuk Dongeng-dongeng Grimm Bersaudara (1824–1826), Evenings on a Farm Near Dikanka (1831-1832) karya Nikolai Gogol, Tales of the Grotesque and Arabesque (1836), karya Edgar Allan Poe dan Twice Told Tales (1842) karya Nathaniel Hawthorne. Pada akhir abad ke-19, pertumbuhan majalah dan jurnal melahirkan permintaan pasar yang kuat akan fiksi pendek antara 3.000 hingga 15.000 kata panjangnya. Di antara cerita-cerita pendek terkenal yang muncul pada periode ini adalah "Kamar No. 6" karya Anton Chekhov.
Pada paruhan pertama abad ke-20, sejumlah majalah terkemuka, seperti The Atlantic Monthly, Scribner's, dan The Saturday Evening Post, semuanya menerbitkan cerita pendek dalam setiap terbitannya. Permintaan akan cerita-cerita pendek yang bermutu begitu besar, dan bayaran untuk cerita-cerita itu begitu tinggi, sehingga F. Scott Fitzgerald berulang-ulang menulis cerita pendek untuk melunasi berbagai utangnya.
Permintaan akan cerita-cerita pendek oleh majalah mencapai puncaknya pada pertengahan abad ke-20, ketika pada 1952 majalah Life menerbitkan long cerita pendek Ernest Hemingway yang panjang (atau novella) Lelaki Tua dan Laut. Terbitan yang memuat cerita ini laku 5.300.000 eksemplar hanya dalam dua hari.
Sejak itu, jumlah majalah komersial yang menerbitkan cerita-cerita pendek telah berkurang, meskipun beberapa majalah terkenal seperti The New Yorker terus memuatnya. Majalah sastra juga memberikan tempat kepada cerita-cerita pendek. Selain itu, cerita-cerita pendek belakangan ini telah menemukan napas baru lewat penerbitan online. Cerita pendek dapat ditemukan dalam majalah online, dalam kumpulan-kumpulan yang diorganisir menurut pengarangnya ataupun temanya, dan dalam blog.

ü  Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur yang membangun karya itu sendiri. Unsur–unsur intrinsik cerpen mencakup:
A.                  Tema
Tema (theme), menurut Stanton dan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2000:67) adalah makna yang terkandung oleh sebuah cerita. Hal senada dikemukakan Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.20) bahwa tema adalah makna cerita, gagasan utama, atau dasar cerita. Sedangkan Hartoko dan Rahmanto juga sebagaimana dikutip Nurgiyantoro (2000:68) menafsirkan bahwa tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang dikandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan dan perbedaan–perbedaan.
Kenney (1966) sebagaimana dikutip Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.20) mengemukakan bahwa tema hendaknya dibedakan dengan topik. Tema dalam suatu cerita adalah gagasan sentralnya. Topik adalah pokok pembicaraan yang berhubungan dengan atau yang ditunjukkan oleh cerita. Tema lebih merupakan komentar terhadap topik, baik secara tersirat maupun tersurat. Di dalam tema terkandung sikap pengarang terhadap topik cerita. Dalam kaitannya dengan pengalaman pengarang, tema adalah sesuatu yang diciptakan oleh pengarang sehubungan dengan pengalaman yang diekspresikannya.
Tema merupakan unsur penting yang harus ada dalam sebuah cerpen baik secara implisit maupun eksplisit, karena temalah yang menjadi dasar sebuah cerita, seperti diungkapkan tarigan (1985:125):
1) setiap fiksi harus mempunyai dasar atau tema yang mempunyai sasran atau tujuan;
2) tema adalah dasar atau makna sebuah cerita;
3) tema adalah pandangan hidup yang tertentu atau perasaan tertentu yang membentuk atau membangun dasar gagasan-gagasan utama dari suatu kaarya sastra.
Dalam sebuah cerita rekaan, tema berfungsi memberi kontribusi (sumbangan) bagi elemen cerita rekaan yang lain seperti alur, tokoh, dan latar. Pengarang menyusun alur, menciptakan tokoh, dan yang berlakuan dalam latar tertentu, sebenarnya merupakan tanggapannya terhadap tema yang telah dipilih dan yang akan selalu mengarahkannya (Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.20).
Pendapat senada dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini K.M. (1994:56-57) bahwa tema dalam cerpen tidak dikemukakan secara definitif. Dalam cerpen yang berhasil, tema justru tersamar dalam seluruh elemen. Pengarang menggunakan dialog-dialog tokohnya, jalan pikirannya, perasaannya, kejadian-kejadian, setting cerita untuk mempertegas atau menyarankan isi temanya. Seluruh unsur cerita menjadi mempunyai satu arti saja, satu tujuan, dan yang mempersatukan segalanya itu adalah tema.
Dari uraian di atas dapatlah disimpulkan bahwa untuk menentukan tema suatu cerita harus mengetahui terlebih dahulu isi keseluruhan cerita dengan mencari hubungan tema dengan alur, tema dengan tokoh, tema dengan latar, tema dengan gaya, juga tema dengan sudut pandang.
B.                  Latar atau setting
Segala sesuatu dalam kehidupan ini harus terjadi pada suatu tempat dan waktu. Cerita rekaan adalah dunia kata-kata yang didalamnya terdapat kehidupan para tokohnya dalam rentetan peristiwa. Dengan demikian cerpen pun tidak terlepas dari tempat dan waktu pula. Unsur yang menunjukkan di mana dan kapan peristiwa-peristiwa dalam kisah itu berlangsung disebut latar /setting ( Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.15).
Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000:216).
Lebih lanjut Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.15) mendeskripsikan latar menjadi tiga kategori, yaitu: tempat, waktu, dan sosial. Yang dimaksud sebagai latar tempat adalah hal-hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu berkaitan dengan masalah-masalah historis, dan latar sosial berhubungan dengan kehidupan kemasyarakatan.
Kehadiran latar dalam sebuah cerita mempunyai fungsi untuk (1) melukiskan dan meyakinkan pembaca tentang gerak dan tindakan tokoh, (2) membantu mengetahui keseluruhan arti dari sebuah cerita dan (3) menciptakan atmosfir yang bermanfaat dan berguna menghidupkan peristiwa (Tarigan, 1984:136).
Berdasarkan uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa latar merupakan lingkungan cerita yang berkaitan dengan masalah tempat dan waktu terjadimya peristiwa, lingkungan sosial, dan lingkungan alam yang digambarkan guna menghidupkan peristiwa.
C.                  Plot/alur
Seperti yang dikemukakan Abrams dalam (Nurgiyantoro, 2000:136), plot dalam sebuah karya fiksi dikatakan memberi kejutan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian-kejadian yang ditampilkan menyimpang, atau bahkan bertentangan dengan harapan kita sebagai pembaca.
Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.10) berpendapat bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah. Rusyana (1984:76) menyatakan bahwa plot atau alur bukan sekedar urutan cerita dari A sampai Z, melainkan merupakan hubungan sebab akibat peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lainnya di dalam cerita.
Pendapat di atas menegaskan bahwa adanya susunan-susunan dalam cerita terjadi karena adanya unsur cerpen yang disebut alur. Kehadiran alur dapat membuat cerita berkesinambungan. Oleh sebab itu, antara peristiwa yang satu dengan peristiwa yang lain dalam alur harus saling berhubungan. Dengan kata lain, alur harus memiliki keterpaduan, sehingga apabila salah satu peristiwa dihilangkan dengan sengaja, maka keseluruhan cerita akan rusak.
Alur erat kaitannya dengan aspek cerita. Aspek cerita atau story dalam sebuah karya fiksi merupakan suatu hal yang amat esensial, memiliki peranan sentral. Forster (dalam Nurgiyantoro, 2000:90) jauh-jauh telah menegaskan bahwa cerita merupakan hal yang fundamental dalam karya fiksi. Forster mengartikan cerita sebagai sebuah narasi berbagai kejadian yang sengaja disusun berdasarkan urutan waktu. Seperti halnya Forster, Abram (dalam Nurgiyantoro, 2000:91) juga memberikan pengertian cerita sebagai sebuah urutan kejadian yang sederhana dalam urutan waktu, sedangkan Kenny (dalam Nurgiyantoro, 2000:91) mengartikannya sebagai peristiwa-peristiwa yang terjadi berdasarkan urutan waktu yang disajikan dalam sebuah karya fiksi. Yang disebut peristiwa ialah peralihan dari keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. (Luxemburg dkk., 1982:150). Peristiwa-peristiwa yang dipilih akan mempengaruhi perkembangan alur. Walau cerita merupakan deretan peristiwa yang terjadi sesuai dengan urutan waktu secara kronologis dalam sebuah karya fiksi, urutan peristiwa itu sering disiasati dan dimanipulasikan sehingga menjadi kompleks. Peristiwa yang dikisahkan tak harus urut dari awal sampai akhir, melainkan dapat dimulai dari titik peristiwa mana saja sesuai dengan keinginan dan kreativitas pengarang (Nurgiyantoro, 2000:92).
Kenney (dalam Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.10) membagi tiga bagian struktur alur cerita rekaan secara garis besar, yaitu: bagian awal, tengah, dan akhir. Namun, urutan itu tidak selamanya seperti itu, pengarang dapat secara bebas memulainya.
Pada bagian awal sebuah cerita rekaan biasanya mengandung dua hal penting, yakni pemaparan (exposition), dan ketidakmantapan (instability). Maksudnya pada awal cerita akan dihidangkan suatu pemaparan yang berwujud informasi yang diperlukan untuk memahami cerita selanjutnya.
           Akan tetapi pemaparan pada bagian awal cerita biasanya tidak lengkap. Bagian awal ini biasanya mengandung ketidakmantapan, baik secara tersurat maupun tersirat. Ketidakmantapan itu biasanya berwujud konflik kecil yang akan berbuntut pada peristiwa-peristiwa berikutnya, dan ini sangat berguna untuk memahami cerita secara keseluruhan. Wujud pemaparan yang terdapat pada awal kisah biasanya berbentuk paparan tempat, waktu, sosial budaya tertentu, atau introduksi watak tokoh utama.
Pada bagian tengah, terdapat conflict (konflik), complication (komplikasi, perumitan, penggawatan), dan climax (klimak). Konflik erat kaitannya dengan unsur ketidakmantapan yang terdapat pada kejadian awal kisah. Konflik ini dapat berbentuk kejiwaan, sosial, dan alamiah. Nurgiyantoro (2000: 145) menyatakan bahwa tahap tengah cerita yang dapat disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Pada bagian akhir kisah terdiri dari segala sesuatu yangn berawal dari klimaks menuju ke pemecahan masalah yang disebut denoument atau peleraian.
Sumarjo dan Saini K.M. (1994:49) menyatakan, di samping alur yang terdiri atas beberapa bagian, alur juga dapat dipecahkan menjadi bagian-bagian tertentu, yaitu (1) pengenalan, (2) timbul konflik, (3) konflik memuncak, (4) klimaks, (5) pemecahan masalah.
Di samping itu, dikenal pula istilah the law of plot (hukum-hukum alur). Kenney (1966) sebagaimana dikutip Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.11-2.12) menyebutkan hukum-hukum alur, yakni: kemasukakalan (plausibility), kejutan (surprise), tegangan (suspense), dan keutuhan (unitiy).
Kemasukakalan merupakan satu di antara yang penting untuk ditepati oleh pengarang dalam menulis cerpen. Suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki “kebenaran” bagi cerita itu sendiri. Dalam konteks ini, bukan kebenaran dalam arti suatu cerita harus benar-benar terjadi (realistik), tetapi pembaca benar-benar diyakinkan oleh cerita yang terkait di dalammya. Maksudnya pengarang tidak hanya sekedar berkisah, tetapi harus bertanggung jawab dari segi kemasukakalan itu. Kisahan juga membutuhkan suatu kejutan agar tidak menjemukan pembacanya. Kejutan dapat berfungsi untuk memperlambat atau bahkan untuk mempercepat tercapainya klimaks cerita.
Selanjutnya aturan penting yang berfungsi untuk mengatur jalannya alur disebut tegangan (suspense). Tegangan ini merupakan suatu pendorong bagi pembaca untuk ingin terus mengikuti jalan ceritanya. Unsur ini menyebabkan pembaca terus bertanya-tanya tentang apa yang akan terjadi kemudian. Ketegangan akan melibatkan suatu kesadaran terhadap kemungkinan-kemungkinan. Ia dapat berbentuk lewat pemutusan tiba-tiba, dan mengalihkannya pada tokoh atau peristiwa lain. Pemutusan ini mau tidak mau akan membuat pembaca terdorong untuk mencari jawaban bagi pertanyaan yang timbul pada dirinya. Ketegangan juga dapat timbul sebagai akibat adanya konflik, sehingga pembaca terpancing untuk meneruskan bacaannya akibat keingintahuannya belum terpenuhi. Adapun sarana untuk menciptakan suatu ketegangan, dapat berbentuk foreshadowing (pembayangan), membayangkan apa yang akan terjadi, atau flash back (sorot balik), penyelaan urutan kronologis di dalam kisah dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Faktor yang sangat penting adalah masalah keutuhan cerita. Dalam sebuah cerita tidak jarang dijumpai sub-sub alur yang kadang menyimpang membentuk semacam lanturan (digression) yang berwujud cerita/peristiwa yang menyimpang dari pokok masalah yang dihadapi dalam cerita tersebut. Dalam sebuah kisahan banyak dijumpai sub-sub alur. Sepanjang sub-sub alur ini dapat terjalin dengan alur utamanya, dalam arti merupakan analogi terhadap alur utamanya, sub-sub alur tersebut tidak akan mempengaruhi longgar dan eratnya sebuah alur dalam cerita.
Ada dua cara yang digunakan oleh pengarang dalam menyusun bagian-bagian cerita. Pertama, peristiwa-peristiwa disusun berurutan mulai dari „situation‟ (melukiskan keadaan), „generating circumtancer‟ (peristiwa-peristiwa mulai bergerak), „rising action‟ (keadaan mulai memuncak), climax (mencapai titik puncak), dan „denoument‟ (pemecahan sosial, penyelesaian). Peristiwa-peristiwa disusun berdasarkan urutan kronologis. Susunan yang demikian disebut alur maju.
Cara kedua, peristiwa-peristiwa dalam cerita disusun tidak berurutan. Pengarang dapat memulainya dari peristiwa terakhir atau peristiwa yang ada di tengah, kemudian menengok kembali pada peristiwa-peristiwa yang mendahuluinya. Susunan demikian disebut alur sorot balik atau alur „flashback‟, seperti diterangkan berikut:
Penyelaan urutan kronologis di dalam karya sastra dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sebelumnya; balikan di dalam urutan cerita kepada peristiwa yang terjadi sebelumnya; acaranya dengan pengacuan, dengan menyajikan renungan atau kenangan salah satu tokoh, mimpi, atau dialog; istilah lain: sorot balik, atau tinjau balik (Sudjiman dalam Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.11).
Dari beberapa penjelasan di atas, akhirnya penulis dapat menyimpulkan bahwa alur merupakan urutan peristiwa masuk akal secara kronologis yang mempunyai hubungan sebab akibat dan terjalin secara utuh.
D.                  Tokoh dan Penokohan
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa dalam cerita (Sudjiman dalam Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.13). Sedangkan penokohan atau perwatakan ialah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh di dalam karya sastra (Ibid dalam Rahmanto dan Hariyanto, 1998:2.13).
Nurgiyantoro (2000: 176) membedakan tokoh dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam cerita sebagai tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama senantiasa ada dalam setiap peristiwa di dalam cerita. Untuk menentukan siapa tokoh utama dalam cerita, kriteria yang biasa digunakan ialah (1) tokoh yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain, (2) tokoh yang paling banyak dikisahkan oleh pengarangnya, dan (3) tokoh yang paling banyak terlibat dengan tema cerita.
Kenney (1966) sebagaimana dikutip Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.13) mengklasifikasikan tokoh dari segi kualitasnya sebagai the simple or flat characters (tokoh sederhana atau tokoh yang berwatak datar), dan the complex or round characters (tokoh kompleks atau tokoh berwatak bulat). Tokoh berwatak datar artinya tokoh yang kurang mewakili personalitas manusia secara utuh, hanya ditonjolkan satu sisi kehidupan saja. Sementara itu tokoh yang berwatak bulat adalah tokoh yang dapat dilihat dari semua sisi kehidupannya.
Ciri tokoh sederhana bersifat stereotif, polanya itu-itu saja. Tidak menimbulkan watak dan tingkah laku bermacam-macam. Dengan memberikan kejutan atau berbagai kemungkinan sikap dan tindakan seperti halnya tokoh bulat. Yang membedakan tokoh sederhana dan tokoh bulat menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2000:183) yaitu bahwa dibandingkan dengan tokoh sederhana, tokoh bulat lebih menyerupai kehidupan manusia yang sesungguhnya, karena di samping memiliki berbagai kemungkinan sikap dan tindakan, ia juga sering memberikan kejutan.
Dilihat dari peran tokoh-tokoh dalam pengembangan plot, Nurgiyantoro (2000:178) membaginya ke dalam tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis menampilkan sesuatu yang sesuai dengan pandangan kita, harapan-harapan kita sebagai pembaca.Tokoh protagonislah yang akan memperoleh simpati dan empati dari pembaca, walau dalam cerita ini tidaklah tampak tokoh antagonis yang menjadi lawan sang tokoh. Seperti pernyataan (Luxemburg dkk, 1982:145), jika terdapat dua tokoh yang berlawanan, tokoh yang lebih banyak diberi kesempatan untuk mengemukakan visinya itulah yang kemungkinan besar memperoleh simpati dan empati dari pembaca. Tokoh antagonis beroposisi dengan tokoh protagonis secara langsung maupun tidak langsung, bersifat fisik maupun batin (Nurgiyantoro, 2000:179).
Selanjutnya berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan tokoh-tokoh, Altenbernd dan Lewis (dalam Nurgiyantoro, 2000:188) menggolongkan ke dalam tokoh statis, tidak berkembang dan tokoh berkembang. Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tokoh berkembang, di pihak lain, adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan/perkembangan perwatakan sejalan dengan perubahan/perkembangan peristiwa dan plot yang dikisahkan.
Bagaimana cara pengarang menggambarkan atau menyajikan watak tokoh-tokoh ciptaannya? Kenney (1966) sebagaimana dikutip Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.13-2.14) membaginya menjadi empat macam, yaitu metode diskursif, dramatik, konstekstual, dan campuran diskursif-dramatik-kontekstual. Metode diskursif (istilah lain metode analitik, metode langsung), artinya pengarang secara langgsung menceritakan kepada pembaca tentang perwatakan tokoh-tokoh ceritanya.
Metode dramatik adalah metode penokohan yang dipergunakan pengarang dengan membiarkan para tokohnya untuk menyatakan diri mereka sendiri lewat kata-kata, dan perbuatan mereka sendiri, misalnya lewat dialog, jalan pikiran tokoh, perasaan tokoh, perbuatan, sikap tokoh, lukisan fisik, dan sebagainya.
Metode kontekstual adalah cara menyatakan watak tokoh melalui konteks verbal yang mengelilinginya. Jelasnya, melukiskan watak tokoh dengan jalan memerikan lingkungan yang mengelilingi tokoh, misalnya: kamarnya, rumahnya, tempat kerjanya, atau tempat dimana tokoh berada. Sedangkan teknik campuran dimaksudkan sebagai metode kombinasi dengan cara-cara yang ada, agar lebih efektif.
E.                   Sudut Pandang
Selanjutnya yang menjadi unsur fiksi yang oleh Stanton digolongkan sebagai sarana cerita adalah sudut pandang, point of view, viewpoint. Istilah sudut pandang diartikan Stanton (1965) sebagaimana dikutip Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.16) sebagai posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa di dalam cerita.
Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita (Nurgiyantoro, 2000:246). Sudut pandang, point of view, menyaran pada cara sebuah cerita dikisahkan. Ia merupakan cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kapada pembaca (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2000:248).
Stanton (1965) sebagaimana dikutip Rahmanto dan Hariyanto (1998:2.16) membagi sudut pandang ke dalam empat tipe (sebenarnya banyak variasi meski hakikatnya sama), yakni:
(1) First-person-central atau sudut pandang orang pertama sentral atau dikenal juga akuan-sertaan, dalam cerita itu tokoh sentralnya adalah pengarang yang secara langsung terlibat di dalam cerita;
(2) First-person-peripheral atau sudut pandang orang pertama sebagai pembantu atau disebut sebagai akuan-tak sertaan, adalah sudut pandang di mana tokoh „aku‟ hanya menjadi pembantu yang mengantarkan tokoh lain yang lebih penting;
(3) Third-person-omniscient atau sudut pandang orang ketiga mahatahu atau disebut juga diaan-mahatahu, yaitu pengarang berada di luar cerita, menjadi seorang pengamat yang mahatahu, bahkan berdialog langsung dengan pembacanya;
(4) Third-person-limited atau sudut pandang orang ketiga terbatas atau disebut juga diaan-terbatas, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya, ia hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tunpuan cerita.
Dalam pelaksanaannya sering dijumpai karya fiksi yang mempergunakan sudut pandang campuran, bahkan ada pula yang mempergunakan lebih dari sebuah sudut pandang.
F.                   Amanat
Karya sastra, khususnya cerpen, pada dasarnya merupakan hasil kajian pengarang terhadap apa yang dirasakan dan dilihatnya dalam kehidupan nyata manusia. Oleh karena itu, masalah yang diungkapkan melalui karya sastra berkisar di antara kehidupan manusia sehari-hari. Pengarang selain ingin menyampaikan gagasan dan pandangannya terhadap masalah-masalah kehidupan, juga sesungguhnya ia menyampaikan harapan-harapan dan kegunaannya kepada pembaca. Berkaitan dengan hal tersebut, pengarang sering memasukkan pesan-pesannya ke dalam karyanya. Pesan-pesan yang disampaikan pengarang ke dalam ceritanya itu disebut amanat.
Amanat yang disampaikan pengarang melalui karyanya biasanya berupa ajaran moral atau pesan didaktis. Tidak jauh berbeda dengan bentuk cerita lainnya, amanat dalam cerpen sering disimpan rapi dan disembunyikan pengarangnnya secara tersirat (implisit) dalam keseluruhan cerita. Karena itu, untuk menemukan amanat, pembaca harus menghabiskan bacaannya sampai tuntas.




ü  Unsur ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Unsur ekstrinsik meliput
v  Nilai-nilai dalam cerita (agama, budaya, politik, ekonomi)
                                          
Dalam sebuah karya sastra terkandung nilai-nilai yang disisipkan oleh pengarang. Nilai-nilai itu antara lain: nilai moral, yaitu nilai yang berkaitan dengan akhlak atau budi pekerti baik dan buruk, nilai sosial, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan norma-norma dalam kehidupan masyarakat (misalnya saling memberi, menolong, dan tenggang rasa), nilai budaya, yaitu konsep mengenai masalah dasar yang sangat penting dan bernilai dalam kehidupan manusia (misalnya: adat istiadat, kesenian, kepercayaan, upacara adat), dan nilai estetika, yaitu nilai yang berkaitan dengan seni, keindahan dalam karya sastra (tentang bahasa, alur, tema)
v Latar belakang kehidupan pengarang
Latar belakang pengarang bisa  meliputi pemahaman kita terhadap sejarah hidup dan juga sejarah hasil karya-karya sebelumnya. Latar belakang bisa terdiri dari Biografi , kondisi psikologis dan aliran sastra.
5.                 Cara-cara Mengapresiasi Cerpen
Berdasarkan pada teori unsur-unsur intrinsik di atas, maka mengapresiasi cerpen dalam penelitian ini lebih diarahkan untuk menganalisis unsur-unsur intrinsik cerpen secara lebih mendalam. Cara-cara mengapresiasi cerpen yang diarahkan adalah sebagai berikut.

1. Menentukan alur cerpen dengan menjelaskan bagian-bagian alur secara lengkap, yaitu bagian awal cerita, pemunculan konflik/masalah, konflik, konflik memuncak, peleraian/anti klimak, dan bagian akhir cerita;
2. Menentukan latar cerpen dengan unsur latar yang lengkap, yaitu unsur tempat, waktu, dan suasana cerita;
3. Menentukan tokoh dan penokohan dengan menganalisis sari segi peranannya, dari segi kuliatasnya, dan dari segi metode penyajian wataknya;
4. Menentukan sudut pandang dengan menjelaskan alasan penentuan sudut pandang tersebut;
5. Menentukan gaya dengan menganalisis unsur nada, diksi, dan gaya bahasa yang digunakan dalam cerpen;
6. Menentukan tema yang sesuai kandungan cerpen dengan spesifik;
7. Menentukan beberapa amanat yang sesuai kandungan cerpen.

PENUTUP
KESIMPULAN
§  Apresiasi adalah pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra yang dapat menimbulkan kegairahan terhadap sastra itu, serta menciptakan kenikmatan yang timbul sebagai akibat semua itu.
§  Apresiasi sastra secara langsung adalah kegiatan membaca atau menikmati cipta sastra berupa teks maupun performansi secara langsung.
§  Apresiasi sastra secara tidak langsung dapat ditempuh dengan cara mempelajari teori sastra, membaca artikel yang berhubungan dengan kesastraan, baik di majalah maupun koran, mempelajari buku-buku maupun esai yang membahas dan memberikan penilaian terhadap suatu karya sastra serta mempelajari sejarah sastra.
§  Bekal awal yang harus dimiliki seorang calon apresiator antara lain:
ü kepekaan emosi atau perasaan sehingga pembaca mampu memahami dan menikmati unsur-unsur keindahan yang terdapat dalam cipta sastra,
ü pemilikan pengetahuan dan pengalaman yang berhubungan dengan masalah kehidupan ini secara intensif-kontemplatif  maupun dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan masalah humanitas, misalnya buku filsafat dan psikologi,
ü pemahaman terhadap aspek kebahasaan, dan
ü pemahaman terhadap unsur-unsur intrinsik cipta sastra yang akan berhubungan dengan telaah teori sastra.
§  Cerpen adalah suatu bentuk prosa naratif fiktif.
§  Cara-cara mengapresiasi adalah sebagai berikut.
1. Menentukan alur cerpen dengan menjelaskan bagian-bagian alur secara lengkap, yaitu bagian awal cerita, pemunculan konflik/masalah, konflik, konflik memuncak, peleraian/anti klimak, dan bagian akhir cerita.
2. Menentukan latar cerpen dengan unsur latar yang lengkap, yaitu unsur tempat, waktu, dan suasana cerita.
3. Menentukan tokoh dan penokohan dengan menganalisis sari segi peranannya, dari segi kuliatasnya, dan dari segi metode penyajian wataknya.
4. Menentukan sudut pandang dengan menjelaskan alasan penentuan sudut pandang tersebut.


DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1995. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Aglesindo
Sudarsono. 1999. “Mengajarkan Apresiasi Karya Sastra dengan Strategi Respon Heuristik”. Jurnal Bahasa dan Seni No.28 halaman 56-62.
Sumarjo, J. dan Saini K.M. (1994). Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.
http://www.lebahndut.net/2012/11/pengertian-unsur-ekstrinsik-cerpen.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter#.Uu1q29j6u00
maulfisr.lecture.ub.ac.id/files/2013/02/Modul-1-Hakikat-Apresiasi.docx



1 komentar: